Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Design created with PosterMyWall

Permasalahan Sistem Pangan Di Indonesia

Ende, Tananua Flores,- Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks dalam sistem pangan, yang mencegah masyarakat memperoleh pemenuhan hak atas pangannya secara menyeluruh.

Sistem pangan di Indonesia, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi didomina si oleh korporasi-korporasi besar yang mengakumulasi keuntungan dan tidak mengentaskan permasalahan gizi serta kelaparan. 

Hal ini juga dipengaruhi posisi Indonesia dalam sistem pangan global dan perdagangan dunia yang dipaksakan melalui berbagai perjanjian internasional, yang membuat Indonesia menjadi daerah pemasok bahan baku industri seperti kelapa sawit, coklat, kopi, dan tanaman industri lainnya, tetapi juga menjadi sasaran empuk baik ekspor maupun investasi dari negara-negara industri. 

Tercatat terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia, yang berarti semakin banyak kebijakan nasional yang harus disesuaikan dengan substansi perdagangan bebas, pro impor pangan, dan semakin memberi ruang bagi korporasi untuk mengontrol pasar. Di sisi lain, negara tidak memberikan perlindungan hukum yang berpihak pada produsen pangan skala k ecil dan konsumen rentan.

Dari sisi produksi (Alat Produksi), perampasan tanah dan konversi lahan terus dihadapi petani dan kelompok masyarakat adat yang membuat mereka kehilangan kontrol serta akses terhadap sumber daya produktif sekaligus sumber pangannya. 

Perampasan dan penutupan akses dan kontrol bukan hanya untuk kepentingan alihfungsi menjadi lahan perkebunan demi menyiapkan komoditas ekspor, tetapi juga diperuntukkan dalam membangun proyek-proyek infrastruktur raksasa, perluasan industri ekstraktif seperti pertambangan, dan pariwisata.

Dari sektor pangan laut, pembangunan proyek skala besar seperti reklamasi pantai, pertambangan pasir, pertambangan nikel, dan pertambangan migas terbukti kuat menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang mengancam keberlanjutan pangan laut di Indonesia sekaligus mengancam kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil sebagai produsen utama pangan laut. 

Ekosistem yang rusak telah menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan dan terganggungnya perekonomian nelayan kecil. Hal ini diperburuk dengan urusan birokrasi yang sulit terkait pengurusan izin usaha perikanan dan pembudidayaan, serta aturan penggunaan alat tangkap yang banyak membatasi nelayan kecil tetapi tidak menindak kapal-kapal besar yang menggunakan alat tangkap yang lebih masif menjaring ikan.

Kebijakan reforma agraria di Indonesia telah diatur dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, tetapi pengaturan agraria yang berlaku dari era Orde Baru hingga saat ini belum merealisasikan reforma agraria sesuai mandat pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960, tetapi pengaturan agraria berorientasi pasar yang lebih menguntungkan pihak -pihak korporasi dan investasi asing.

Masih dalam sisi produksi (Mode Produksi) , promosi dan penerapan pertanian monokultur industrial dengan input/sarana produksi tani (saprotan) eksternal (benih, pupuk, pestisida, obat-obatan tanaman) yang diproduksi oleh agroindustri atau ilmuwan-ilmuwan dalam bidang rekayasa genetika sejak Revolusi Hijau di era Orde Baru, telah membuat petani berada dalam ketergantungan dan ancaman kerusakan lahan, sementara korporasi agroindustri terus mendulang keuntungan.

 Petani yang mencoba mengembangkan benih sendiri juga terbentur urusan birokratif dalam perizinan serrtifikasi benih dan biaya pendaftaran. Di sisi lain, subsidi pemerintah juga tidak menjadi jawaban karena sering salah sasaran dan membuat petani harus mengakses saprotan komersil yang mahal, mengakibatkan meningkatnya biaya produksi yang tidak sebanding dengan pendapatan hasil penjualan panen, menimbulkan kerugian. 

Banyak petani yang akhirnya tidak bertahan dan akhirnya mengalihkan mata pencahariannya menjadi buruh upahan, baik sebagai buruh tani atau buruh perkebunan bila mereka masih bertahan di pedesaan. Padahal, pekerjaan sebagai buruh menjebak mereka dalam keterancaman yang lain: lingkungan kerja yang berbahaya dan eksploitatif dengan pengupahan yang murah untuk menekan biaya produksi perusahaan.

Berkenaan dengan krisis pangan yang diperingatkan oleh FAO sebagai akibat dari Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, pemerintah membangun kawasan pertanian pangan secara luas (Food Estate) seperti tidak berkaca dari kegagalan Food Estate di era kepemimpi nan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014). Food Estate menerapkan pertanian monokultur dengan model kimiawi dan memberi peran luas kepada korporasi dari hulu ke hilir yang tetap menaruh petani hanya sebagai penyumbang tenaga kerja dan meminggirkan cara produksi pangan yang lebih sesuai dengan kebudayaan lokal dan adat setempat.

Kedua hal—perampasan tanah dan pertanian industrial—diperburuk dengan liberalisasi investasi untuk menciptakan pasar tanah melalui pembentukan bank tanah dan liberalisasi pasar yang menyebabkan impor pangan dan impor benih menjadi semakin masif melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Impor pangan menyebabkan petani dan nelayan harus bersaing dengan produk pangan dari luar dan menjatuhkan harga jual hasil panen mereka. Sementara untuk impor benih, terdapat ancaman bahwa (1) petani akan dipaksa bergantung pada benih yang dimonopoli oleh segelintir korporasi multinasional di dunia, (2) terjadi paten dan komodifikasi benih melalui berbagai kebijakan global, (3) kriminalisasi petani benih karena dianggap sebagai produsen illegal, dan (4) preferensi pada varietas benih modern (hibrida, GMO, biofortifikasi) yang dianggap lebih unggul daripada benih lokal.

Dari sisi distribusi, produsen pangan skala kecil juga menghadapi panjangnya rantai yang dipermainkan tengkulak dan mafia pangan, serta monopoli pasar yang dikuasai oleh korporasi. Ini menimbulkan harga jual panen petani atau produsen pangan skala kecil lainnya rentan dipermainkan dan tidak menutup biaya produksi yang telah dikeluarkan. 

Semakin tidak menjanjikannya keuntungan dari hasil bertani ataupun melaut, ditamba h perampasan lahan dan juga relasi tenurial yang timpang antara petani penggarap dengan tuan tanah yang tidak diatur dengan baik dan memiliki sistem peradilan yang adil oleh negara, membuat produsen pangan skala kecil bermigrasi ke kota atau beralih kerja menjadi buruh atau tenaga kerja upahan yang menerima upah atau gaji yang murah, selanjutnya mengancam mereka dalam kemiskinan. 

Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa jumlah petani gurem yang terus meningkat selama satu dasawarsa terakhir (sementara penguasa lahan di atas 10 . 000 hektar tidak mencapai 1% dalam statistik penguasaan lahan)7%, menurunnya jumlah penduduk di pedesaan 8%, serta menurunnya jumlah nelayan 9% di Indonesia.

Selain itu karena pengaturan agraria di sisi alat produksi—yang gagal menanggulangi atau malah menyebabkan—ketimpangan kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria dan SDA, menyebabkan berkurangnya produksi pangan yang sehat, bergizi, dan beragam, kemudian menambahkan alasan untuk impor pangan dan terjadilah lingkaran setan atau vicious circle.

Impor menyebabkan pemenuhan pangan di Indonesia menjadi bergantung pada sistem pangan global yang harganya sewaktu-waktu bisa naik dan memengaruhi kenaikan harga di tingkat nasional, membuat harga komoditas pangan primer tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. 

Lebih dari itu produsen pangan skala kecil terancam karena produknya harus bersaing dengan produk impor di pasaran yang menjatuhkan harga jual hasil panen mereka. Impor bahan-bahan tertentu seperti garam, gandum, dan gula menguatkan industri pangan, termasuk industri raksasa makanan dan minuman jadi yang menghasilkan makanan dan minuman ultraproses dengan harga yang murah. Lebih dari itu, kebijakan impor pangan j uga semakin dimudahkan melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Permasalahan lainnya pada sisi distribusi adalah liberalisasi model saluran pemasaran – yang dibuktikan dengan menjamurkan industri ritel hingga ke kelurahan dan perdesaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat dan berlanjut tergesernya kios – kios rakyat dan pasar lokal tradisional ( territorial market). Bahkan Industri ritel milik korporasi tersebut mencakup pangan.

Dari sisi konsumsi, menguatnya korporasi juga berdampak pada dan bahkan mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat baik produsen pangan maupun konsumen pangan. Preferensi terhadap makanan instan dan murah semakin tinggi seiring dengan perubahan gaya hidup dengan beban dan durasi kerja yang tinggi dan himpitan ekonomi yang dihadapi petani kecil, nelayan, miskin kota dan buruh. 

Tercakup dalam hal ini makanan cepat saji (fast food) milik restoran korporasi asing seiring dengan perubahan pola gaya hidup dan pola konsumsi. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas menengah-atas, melainkan juga masyarakat bawah seiring dengan menjamurnya industri retail pangan sebagaimana yang disebut pada sisi distribusi.

Makanan instan seperti mie instan, sarden kalengan, dan bumbu-bumbu artifisial tinggi MSG, natrium, dan kandungan kimia lain menjadi pilihan makan bagi rumah tangga-rumah tangga miskin, di antaranya masyarakat miskin kota, para buruh, bahkan buruh industri pangan dan produsen pangan itu sendiri, seperti buruh perkebunan sawit dan petani miskin tunakisma. 

Pendapatan yang jauh dari kata layak, dibarengi dengan ketiadaan sumber pangan subs isten, kerap membuat seorang buruh mesti berhutang untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Siasat lainnya adalah menekan pengeluaran untuk kebutuhan pangan atau berhemat dengan membeli makanan yang murah dan “enak” seperti makanan instan tadi. Sementara makanan instan dan makanan cepat saji belum tentu memenuhi kecukupan gizi dan alih-alih justru tidak menjamin keamanan pangannya (Food Safety). Sebagai konsekuensi, muncul kelaparan struktural berupa permasalahan kesehatan dan gizi seperti stunting, gizi buruk, obesitas , dan penyakit-penyakit seperti diabetes, jantung, dan stroke.

Permasalahan gizi dan kesehatan tersebut juga tidak lepas dari panjangnya rantai pasok y ang memisahkan petani, nelayan, dan produsen pangan skala kecil lain dengan buruh dan masyarakat miskin kota, sehingga tidak ada titik temu antara keberlanjutan produksi dan keberlanjutan konsumsi diantara mereka. Ketidakadaan tersebut berakibat pada harga pangan yang pada saat tertentu berpengaruh pada ketidakterjangkauan buruh dan miskin kota terhadap pangan. Begitu juga sebaliknya, harga pangan yang rendah menjadi masalah bagi produsen pangan.

Dalam seluruh lini permasalahan dalam sistem pangan, terdapat diskriminasi, marginalisasi, dan eksklusi terhadap perempuan. Tidak ada pengakuan terhadap posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan pangan, baik petani maupun nelayan. Perempuan nelayan masih sulit memperoleh kartu identitas sebagai produsen yang berpengaruh pada tidak dipenuhinya hak-hak mereka atas kesejahteraan. 

Pola pertanian yang semakin industrial juga mengurangi peran perempuan yang vital dalam menjaga keberlanjutan pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam sektor pangan, di perkebunan sawit misalnya, menghuni pekerjaan-pekerjaan yang berupah lebih rendah dari kerja buruh laki-laki tetapi tetap berada dalam lingkungan kerja yang eksploitatif, beracun, berbahaya, dan rentan kekerasan. Dalam konteks kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber agraria, perempuan juga masih kerap mengalami diskriminasi. Ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan antara perempuan dan laki-laki juga masih lebar.

Sedangkan dalam konsumsi, perempuan merupakan aktor yang paling sering disasar oleh korporasi agribisnis untuk memasarkan produknya dengan cara-cara yang agresif. Seperti misalnya, seorang ibu yang sering menjadi korban promosi produk pengganti ASI seperti Formula Susu Sapi (FSS) untuk dirinya dan bayinya yang kemudian menggantikan susu ibu itu sendiri—sebuah pelanggaran hak atas pangan karena bayi memerlukan ASI eksklusif bukan FSS. 

Kebijakan pencegahan stunting anak dan penanganan kurang gizi pada ibu dan perempuan di Indonesia, juga seringkali terjebak sebatas pada pemberian makanan fortifik asi atau tablet penambah darah yang sebenarnya merupakan keluaran dari agribisnis bersama dengan teknologi pangan. Hal ini tidak membedah permasalahan struktural yang bisa menyebabkan seorang perempuan kurang gizi: ketiadaan akses perempuan terhadap sumber daya produktif, pengurangan beban berlapis yang disandang perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan kebutuhan pangannya tidak tercukupi.

Dengan adanya permasalahan pangan yang menunjukkan dominasi korporasi—baik korporasi nasional ataupun multinasional (MNC)—dalam produksi, distribusi, dan konsumsi, juga diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya, negara yang harusnya menyediakan perlindungan hukum dan menanggulangi diskriminasi, serta ketimpangan kuasa serta akses, malahan mengukuhkan berbagai peraturan yang memberikan kemudahan bagi korporasi dari jaminan lahan, pasar, hingga perlindungan hukum, di antaranya melalui UU Cipta Kerja.

Baca Juga : Forum KTT Dinilai Mengancam Kesejahteraan Petani

KTT Sistem Pangan Dinilai Mengancam Kesejahteraan Petani

Posting Komentar

0 Komentar