Ende, 2 Juli 2025 –
Tananua Flores| Di tengah ancaman krisis iklim, kerusakan ekosistem, dan
ketimpangan sosial yang masih mengakar, sebuah sinyal kuat datang dari desa
kecil di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Dalam Pertemuan Semesteral
Petani dan Nelayan di Desa Malawaru, suara-suara akar rumput, pemangku
kebijakan, dan tokoh reflektif bersatu dalam satu pesan penting: Merawat bumi ,
menjaga kehidupan.(25/06)
Talkshow bertema “Akses dan Tata Kelola Hutan
Berkelanjutan” menghadirkan pernyataan tegas dari Yos Dasimuda, Kepala UPT
KPH Wilayah Ende. Dalam penjelasannya, Yos menyingkap akar persoalan hutan—yang
tak lagi semata soal izin, tapi juga tentang kejelasan arah kebijakan dan akses
legal masyarakat terhadap hutan.
“Jangan sampai kita
tidak pernah menanam, tapi senang memanen,” ujarnya, menggarisbawahi urgensi
tanggung jawab ekologis.
Pernyataan itu menjadi semakin relevan ketika dikaitkan
dengan realitas desa-desa di sekitar kawasan hutan lindung, yang notabene
menjadi garda terdepan penjaga mata air dan keseimbangan ekosistem. Dari 70
desa penjaga air di Kabupaten Ende, Malawaru berdiri sebagai salah satu titik strategis.
Menariknya, gagasan tentang tata kelola hutan tidak berhenti
pada aspek teknis atau administratif. RP. Charles Lamaberaf, praktisi
lingkungan, membawa refleksi yang lebih mendalam dan spiritual. Ia menyatakan
bahwa manusia adalah mikrokosmos yang tak bisa hidup tanpa harmoni dengan
kosmos besar—alam semesta. Menjaga lingkungan, dalam pandangannya, bukan hanya
kewajiban etis, melainkan juga panggilan sosial dan spiritual.
“Jika kita tidak
menjaga bumi, sama saja kita sedang merusak rahim kita sendiri,” tuturnya.
Sementara itu Anggota DPRD Ende juga mencatat peran penting
legislatif dalam memastikan keberlanjutan menjadi bagian dari kebijakan publik.
Anggota DPRD Ende, Ansel Kaise, menyampaikan refleksi penting soal keadilan
sosial dan anggaran yang berpihak pada rakyat kecil. Ia mengingatkan bahwa
petani dan nelayan bukan sekadar penerima manfaat, melainkan aktor utama dalam
menjaga ketahanan pangan dan keseimbangan alam.
“Petani dan nelayan yang makmur, maka negara ini akan kuat,”
serunya dengan semangat.
Pertemuan ini menyatukan tiga pilar penting: suara rakyat,
kekuatan adat dan budaya, serta arah kebijakan. Kolaborasi ini bukan hanya
strategis, tapi juga mendesak. Ketika dana desa diarahkan pada reboisasi,
penguatan kelembagaan lokal, dan pelatihan masyarakat, maka hutan tak hanya
menjadi sumber daya alam—ia menjadi ruang hidup yang bermartabat.
Namun demikian, perjuangan ini masih panjang. Masih ada
tumpang tindih status lahan, rendahnya literasi ekologis, dan tekanan ekonomi
yang menggoda eksploitasi jangka pendek. Karena itu, pesan utama dari Malawaru
sangat jelas: pengelolaan hutan bukan semata soal konservasi, tapi juga soal
keadilan, kedaulatan, dan keberlanjutan hidup.
Menjaga hutan berarti menjaga masa depan. Dan masa depan
hanya mungkin diraih jika semua pihak—pemerintah, masyarakat, gereja, dan
lembaga—bersatu dalam langkah nyata. Dari Malawaru, kita belajar bahwa harapan
untuk bumi yang lestari tidak datang dari wacana, tetapi dari tindakan kolektif
yang berakar pada nilai, budaya, dan keberanian moral.
Oleh: Jhuan Mari
0 Komentar