![]() |
| Dok Tananua |
Musyawarah ini bukan sekadar rapat rutin, melainkan sebuah ritual penting yang menyambungkan masyarakat dengan akar budaya, nilai adat, dan komitmen menjaga tanah sebagai sumber kehidupan.
Adat Menjaga Tanah, Tanah Menjaga Kehidupan
Dalam forum adat tersebut, Mosalaki Pius Pio kembali menegaskan pentingnya kepatuhan pada tatanan adat PIRE Leja Rua – Api Ma’e Nu, Kaju Ma’e Dega, sebuah pedoman sakral yang mengatur perilaku masyarakat di sawah dan ladang. Aturan ini bukan sekadar norma, melainkan simbol penghormatan terhadap tanah yang dianggap sebagai “Uma Rema”—rumah besar bagi seluruh keluarga adat.
“Metu mosa jangan dibiarkan. Ikat dan bawa ke tenda adat. Semua harus selesai secara adat,” tegas Mosalaki, menekankan nilai kejujuran, ketertiban, dan tanggung jawab di lahan komunal.
Sengketa batas kebun juga mendapat perhatian khusus. Pelanggaran batas dikenai sanksi seekor ternak sebagai bentuk pemulihan hubungan antar warga. Bagi masyarakat Detuboti, menjaga batas tanah berarti menjaga keharmonisan sosial.
Menanam Harus Sejalan dengan Adat dan Program Desa
Dalam tradisi Detuboti, musim tanam hanya dibuka setelah Mosalaki menjalankan ritual adat sebagai penghormatan terhadap leluhur. Setelah itu masyarakat mulai menanam tanaman pangan, komoditas, dan tanaman produktif.
“Tanam tidak boleh ditunda-tunda. Kita mulai saat Mosalaki sudah membuka,” jelas Ketua Kelompok Tani, Frans Seda.
Ritual Wira Bara Sawe dan Poka Koli menjadi penanda dimulainya musim tanam dan aktivitas pertanian. Kedua ritual ini memperkuat keyakinan masyarakat bahwa keberhasilan panen bukan hanya ditentukan oleh kerja manusia tetapi juga restu leluhur.
Pengelolaan air menjadi pembahasan penting. Melalui P3A, masyarakat menata pembagian air minum dan irigasi agar berjalan adil. Ketua P3A, Frans Seda, kembali mengingatkan tiga aturan dasar:
-
Tidak mencuci di saluran irigasi
-
Tidak menggunakan herbisida
-
Melakukan bakti umum secara rutin
Untuk menjamin kelancaran pasokan air, warga sepakat melakukan pembersihan saluran dari Kebun Bai hingga Malu pada Kamis pekan depan. Bantuan semen dari pihak kontraktor akan digunakan memperbaiki god air di wilayah kebun Om Eman Suka. Debit air yang meningkat mengharuskan pelebaran saluran irigasi demi kelestarian produktivitas sawah.
Anggota P3A, Eman Suka, mengingatkan kembali bahwa kekuatan pertanian Detuboti selalu lahir dari kerja bersama. Semua program pertanian akan dimulai melalui kelompok tani untuk memastikan koordinasi rapi.
Masyarakat juga sepakat mendorong produksi pupuk organik secara kolektif. Upaya ini diharapkan meningkatkan kesuburan lahan dan hasil panen yang ditargetkan mencapai 60–80 karung pada 2025.
“Kalau anggota terlalu banyak, kita bisa bagi dua kelompok. Yang penting semua saling bantu,” ujarnya.
Kerja sama dengan PPL, Universitas Flores, dan Yayasan Tananua Flores (YTNF) disambut positif. Pendampingan ini dianggap penting untuk memperkuat pengetahuan petani, mulai dari pengolahan lahan hingga administrasi kelompok.
Om Tomas, mewakili Aji Ana dan Faiwalu Ana Kalo, mengusulkan penyusunan peta sketsa hamparan lahan Detuboti sebagai dasar perencanaan penggunaan tanah setiap akhir tahun adat. Ketua P3A ditugaskan turun bersama Mosalaki, pengurus P3A, dan para Faiwalu untuk menyusun sketsa tata ruang yang lebih rapi.
Beberapa petak yang telah lama tidak digarap pemiliknya juga akan ditata ulang agar pemanfaatan tanah lebih optimal.
Pewawo dan Pewena: Berbeda dalam Adat, Bersatu dalam Kerja
Dalam adat Detuboti, masyarakat terbagi dalam dua kelompok besar: Pewawo dan Pewena. Namun, seperti ditegaskan Mosalaki, perbedaan tersebut hanya berlaku pada urusan adat tertentu seperti tugas dapur dalam ritual.
“Untuk pembangunan dan pertanian, kita tetap satu. Kita harus kerja bersama,” tegas Mosalaki.
Masyarakat juga mengapresiasi kerja sama yang telah dibangun dengan Yayasan Tananua Flores dan Universitas Flores dalam mengembangkan pertanian ramah lingkungan baik di lahan basah maupun lahan kering.
Merajut Komitmen untuk Masa Depan
Di akhir musyawarah, tokoh masyarakat Selisius Walo menyampaikan apresiasi atas hadirnya YTNF dalam memperkuat kapasitas petani.
“Kita harus bersyukur, Tananua bersama kita. Mari kita atur semua dengan baik demi Uma Rema, demi tanah ini, demi anak cucu kita,” ungkapnya.
Musyawarah Adat (TU TAU) kali ini menjadi pengingat bahwa tanah bukan hanya lahan produksi, tetapi warisan leluhur yang harus dijaga dengan prinsip kebersamaan, penghormatan adat, dan semangat membangun masa depan yang lebih lestari.
Oleh : HS



.jpg)

0 Komentar